PengertianEstetika. Secara etimologis estetika berasal dari kata Yunani: Aistetika yang berarti hal-hal yang dapat dicerap dengan panca indra, atau Aisthesis yang berarti
p>REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setiap anak pada dasarnya memiliki delapan kecerdasan. Namun untuk memunculkan kecerdasan tersebut, perlu adanya stimulasi yang tepatPresiden pertama Indonesia yaitu Ir. Soekarno, pernah berkata bahwa,âJangan pernah melupakan sejarah. Ini akan membuat dan mengubah siapa diri kita.â Baik atau buruknya sejarah telah menjadi bagian dari perjalanan hidup yang dapat menjadi pembelajaran untuk menatap masa depan. Dengan begitu, sejarah jadi hal yang sangat penting bagi kita untuk tidak melakukan kesalahan yang berulang. Mengetahui kisah masa lalu juga menjadi cara kita untuk menghargai jasa para bisa mengetahui dan mempelajari sejarah dengan menyenangkan, salah satunya dengan membaca novel. Beruntung, punya banyak koleksinya. Novel-novel ini dapat memantik rasa ingin tahumu terhadap kisah kelam perjuangan bangsa Indonesia. Beberapa novel fiksi ini bisa memberikan kamu gambaran akan suasana politik, adat budaya, sosial, dan lingkungan yang terjadi pada masa tersebut. Nah, berikut rekomendasi novel berlatarkan sejarah Indonesia untuk bisa kamu rasakan tegangnya kala itu lebih Rekomendasi Novel Berlatarkan Kisah Kelam Sejarah Indonesia1. Laut Bercerita - Leila S. ChudoriKita semua tahu bahwa peristiwa yang dialami oleh negeri ini pada tahun 1998 sangat menguras emosi. Geliat perjuangan untuk melengserkan Orde Baru benar-benar menyesakkan hati. Rasakan Kelamnya, Beli Bukunya di Sini Meski novel ini adalah fiksi, Laut Bercerita menunjukkan kepada pembacanya bahwa negeri ini pernah memasuki masa pemerintahan yang kelam. Novel ini didasarkan pada kisah dan obrolan nyata para aktivis pra-reformasi. Kala itu suara aktivis dibatasi, serta diberantas habis. Cerita ini membuat banyak pembaca meresapi fakta-fakta sejarah, akan apa yang terjadi pada masa terbagi menjadi dua bagian dan dua sudut pandang. Menceritakan sosok Biru Laut, bagian pertama menunjukkan segala kepedihan dan ketakutan sebagai aktivis kritis yang berani menyuarakan isu sosial pada medio 1991 sampai 1998. Kelompoknya dianggap berbahaya, mereka pun ditangkap, dihukum secara fisik dan mental. Bagian kedua bercerita mengenai sosok keluarga yang kehilangan saudara, Asmara Jati, dimulai dengan tahun 2000 sampai juga Novel Laut Bercerita Hadirkan Edisi Hard Cover di Tahun Kelimanya2. Segala yang Diisap Langit - Pinto AnugerahBuku ini berlatarkan kisah pada masa perang Padri di tahun 1800-an. Bukan tentang Tuanku Imam Bonjol atau perjuangan melawan Belanda kala itu, tapi tragedi yang menimpa keluarga-keluarga bangsawan Minangkabau, yang menjadi korban maupun pelaku perang Padri itu sendiri. Ada politik, alegori menohok, dan tentang kaum adat yang membawa ideologi utama di sini adalah Rabiah. Ia mempunyai kepribadian yang kuat dengan ambisinya yang tinggi dalam mematahkan mitos yang beredar, bahwa garis keturunan keluarga bangsawan Minangkabau akan putus pada generasi ketujuh. Apapun siap ia lakukan, tapi ternyata penghalang utama Rabiah malah kakak kesayangannya, Magek. Rasakan Kelamnya, Beli Bukunya di Sini Setelah bergabung dengan Kaum Padri dari utara, Magek mengacungkan pedangnya ke arah Rubiah, siap menghancurkan semua yang dimilikinya dari harta, adat, keluarga, dan masa lalu. Novel ini menceritakan perubahan zaman dari kejayaan para bangsawan Minangkabau yang hidup dari tambang emas, menuju kekuasaan gerakan Kaum Padri di Sumatera Barat. Sang penulis memadukan data sejarah, data ingatan memori kolektif, data tentang mitos yang lahir dari peristiwa Padri, dengan kajian etnografis yang Tetralogi Buru - Pramoedya Ananta ToerTetralogi Buru yang diawali dengan cerita Bumi Manusia, merupakan seri novel yang sangat baik menjelaskan bagaimana diskriminasi terjadi pada bangsa kita pada zaman Hindia Belanda. Pram dengan baik memadukan antara kisah perjuangan di era kolonial, dengan kisah percintaan yang sakral. Layaknya membaca buku sejarah, namun dengan roman sebagai Kelamnya, Beli Bukunya di Sini Kita akan mengetahui peliknya kisah Minke, baik itu perjuangannya lewat tulisan dan pikiran, serta kisah percintaannya dengan Annelies Mellema, perempuan keturunan Indo-Belanda. Minke merupakan pencetus pers pribumi dan pergerakan nasional. Minke berjuang melawan tradisi penjajahan kolonial tanpa melepaskan nilai-nilai kesopanan. Ada juga kisah perjuangan dari sosok Nyai Ontosoroh, wanita pribumi yang berusaha memertahankan usahanya yang telah ia Kelamnya, Beli Bukunya di Sini Kelanjutan kisah Minke bisa kamu ikuti lagi pada Anak Semua Bangsa yang menceritakan bagaimana Minke menyadari kesalahannya dalam mengambil sudut pandang. Kematian Annelies membuat pendiriannya Kelamnya, Beli Bukunya di Sini Buku Jejak Langkah melanjutkan usaha Minke dalam melawan Belanda. Ia lakukan itu lewat tulisan pada koran untuk mendapatkan banyak dukungan dari masyarakat pribumi. Usahanya dalam melawan penjajahan juga ia lakukan dengan aktif dalam organisasi, dan menghapus budaya feodal dari kehidupan kaum Kelamnya, Beli Bukunya di Sini Terakhir, pada buku Rumah Kaca yang kali ini dituturkan lewat sosok seorang polisi yang ditugaskan mengamankan dan membungkam Minke. Polisi ini ternyata seorang pribumi yang juga mengagumi sosok Minke, namun ia dilema dalam tugasnya sebagai polisi juga 6 Negara Pertama yang Mengakui Kemerdekaan Indonesia4. Pulang - Leila S. ChudoriNovel ini bercerita mengenai perjalanan hidup tahanan politik eks peristiwa G30S tahun 1965, yaitu Dimas Suryo yang kini tinggal di Prancis. Ia berhasil selamat dari peristiwa pembersihan orang-orang 'golongan kiriâ.Rasakan Kelamnya, Beli Bukunya di Sini Selama rezim Orde Baru masih berlangsung, ia tetap dianggap sebagai tahanan politik. Keinginan Dimas sebenarnya sederhana, hanya ingin pulang dan mati di tanah kelahirannya, Indonesia, tapi di situ saja ia tak lagi diterima. Apakah keinginan Dimas tersebut bisa terwujud?Meski terdengar berat karena memiliki unsur politik yang kental, namun novel ini sangatlah mudah untuk dibaca berkat penuturan apik Leila. Tak perlu bahasa sastra yang tinggi, ia menjadikan karyanya sangat membumi. Temukan Semua Bukunya di Sini! 5. Sang Keris - Panji SukmaBukan dari sudut pandang tokoh manusia, tapi kamu akan mengikuti lewat sudut pandang sebuah keris, Kanjeng Kyai Karonsih. Kamu akan menjelajahi sejarah Indonesia lewat keris yang terus berpindah tangan sejak masa kerajaan, era kolonial, masa kemerdekaan, hingga ke abad 21 atau zaman Kelamnya, Beli Bukunya di Sini Perjalanan sebilah keris yang terus berpindah tangan ini, membuat ada banyak tokoh yang muncul di tiap babnya, dengan cerita yang berbeda pula mengikuti era yang sedang berlangsung. Keris itu dikisahkan dalam sudut pandang orang kedua. Ada banyak kisah sejarah Indonesia di setiap babnya, dan keris itu menjadi saksi bisunya. Dari perebutan harta, tahta, juga wanita. Dan tak ketinggalan pada tiap pemilihan pemimpin Orang-Orang Proyek - Ahmad Tohari" Dengan mental "orang-orang proyek" yang merajalela di mana-mana, bisakah orang berharap akan terbangun tatanan hidup yang punya masa depan? "Menceritakan tentang idealisme dan integritas yang tinggi dari seorang insinyur bernama Kabul. Ia dipekerjakan sebagai pelaksana proyek jembatan pada masa Orde Baru. Namun ia dihadapkan pada realita, bahwa proyek jembatan tersebut telah menjadi bancakanâ, akibat budaya korupsi yang masif. Rasakan Kelamnya, Beli Bukunya di Sini Hal ini memunculkan keraguan pada Kabul tentang standar mutu jembatan, karena biaya terus ditekan demi kepentingan pundi-pundi pribadi. Jika jembatan hanya sekadar jadi demi mengejar target, jembatan itu tak akan awet, dan proyek ini terasa sia-sia. Penulis memperlihatkan bobroknya oknum pada masa tersebut yang terus menggerus biaya, untuk menjalankan suatu proyek hanya demi keuntungannya sendiri. Lalu apakah Kabul bisa tetap bertahan pada pekerjaannya ini?7. Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk - Ahmad TohariKarya Ahmad Tohari yang satu ini juga sudah diadaptasi menjadi film berjudul Sang Penari yang rilis tahun 2011. Novel ini merupakan gabungan dari tiga buku seri, yaitu Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala, yang rilis pertama kali pada tahun 2003. Menceritakan sosok Srintil, seorang ronggeng baru di Dukuh Paruk. Bagi pedukuhan yang miskin, terpencil dan bersahaja ini, ronggeng membuat kehidupan kembali menggeliat. Tanpanya, dukuh itu seperti kehilangan jati Kelamnya, Beli Bukunya di Sini Srintil kemudian menjadi tokoh yang amat digandrungi. Cantik, menggoda, semua ingin menari bersamanya. Sayang, karena hal itu malah membuat Srintil harus rela menjadi objek seksualitas. Kebebasannya menjadi perempuan pun berakhir kala politik di tahun 1965 juga membuat dukuh ini hancur, baik secara fisik maupun mental. Mereka terbawa arus dan di cap ikut andil dalam peristiwa tersebut. Pengalaman pahit ini membuat Srintil sadar akan hakikatnya sebagai manusia. Karena itulah ia berniat memperbaiki citra dirinya. Apakah Srintil berhasil keluar dari stigma negatif seorang penari ronggeng?Baca juga 10 Rekomendasi Novel Klasik Indonesia yang Menarik untuk Dibaca8. Tanah Surga Merah - Arafat NurBuku ini berlatarkan konflik politik di Nangroe Aceh Darussalam NAD. Inti cerita ada pada gejolak politik lokal, tentang Murad, seorang mantan tentara Gerakan Aceh Merdeka GAM, dan mantan anggota Partai Merah, yang pulang ke kampungnya setelah lima tahun melarikan diri, dan menemukan kenyataan-kenyataan yang tidak sepenuhnya bisa ia terima. Rasakan Kelamnya, Beli Bukunya di Sini Partai Merah dianggap bisa membawa perdamaian di Aceh. Sayangnya, Murad kemudian menemukan orang-orang Partai Merah jauh berbeda dengan sifatnya saat berjuang dulu, setelah dilakukan perdamaian antara Aceh dan pemerintah Indonesia. Mereka semua dibutakan oleh jabatan, kekuasaan, harta, juga menerima banyak sekali tuduhan hingga membuatnya diburu banyak orang. Agar tak ketahuan, ia pun menyamar, bahkan ketika penyamarannya nyaris terbongkar, Jemala, gadis yang diam-diam jatuh hati padanya, dengan gagah menyelamatkan Murad sesaat sebelum musuh tiba. Bagaimanakah nasib Murad selanjutnya?9. Amba - Laksmi PamuntjakIni adalah kisah dua manusia, yaitu Amba dan Bhisma, di tengah ketegangan dan kekerasan politik setelah peristiwa G30S tahun 1965. Kisah cinta Amba dan Bhisma merupakan pengantar bagi pembacanya memasuki peristiwa mencekam di bulan September 1965. Di mana peristiwa G30S merupakan sejarah kelam dan berdarah yang pernah dialami bangsa Kelamnya, Beli Bukunya di Sini Amba dan Bhisma dipaksa untuk berpisah karena situasi politik. Keikutsertaannya dalam G30S membuat kamu bisa melihat gambaran kehidupan tahanan politik yang diasingkan di Pulau Buru dalam kesengsaraan dan penantian untuk bisa adalah sebuah kisah pencarian romansa dua manusia di era Orba. Dengan apik, Laksmi menampilkan sejarah kelam bangsa, namun dibalut dengan manusia-manusia yang Buku Lainnya di Sini! 10. Entrok - Okky MadasariEntrok dengan gamblang memperlihatkan bagaimana sikap negara terhadap rakyat kecil pada masa Orde Baru. Marni, sangat menginginkan entrok atau bra. Pada masa itu, entrok bisa dikatakan sebagai pakaian orang berada. Diawali keinginan besarnya, Marni bekerja keras dan menabung. Tak disangka, usaha kerasnya membuahkan hasil. Saat ini ia hidup serba berkecukupan dan telah berkeluarga. Rasakan Kelamnya, Beli Bukunya di Sini Kisah dimulai ketika Marni yang masih memuja leluhur, tak pernah mengenal Tuhan. Berbeda pandangan dengan anaknya, Rahayu, generasi yang mengenyam bangku sekolah, pemeluk agama yang taat dan penjunjung akal bertahun-tahun, mereka hidup dalam perbedaan pemikiran, sampai akhirnya mereka menyadari ada kesamaan dalam hidup mereka, yaitu keduanya sama-sama menjadi korban orang-orang berkuasa, sama-sama melawan juga Buku Biografi Tokoh-Tokoh Bangsa yang Menginspirasi11. Max Havelaar - MultatuliMultatuli atau Eduard Douwes Dekker, seorang anggota Dewan Pengawas Keuangan Pemerintah Belanda yang pertama kali ditempatkan di wilayah Batavia Hindia-Belanda pada 1840. Saat ditugaskan di wilayah Lebak, Banten, ia menolak tegas model pemerintahan Kelamnya, Beli Bukunya di Sini Adanya ketidakadilan, perampasan, serta penjajahan menjadi kritik dan penolakannya. Ia menaruhkan perhatiannya kepada fenomena kelaparan, penderitaan, serta ketertindasan yang dialami rakyat pribumi di Hindia-Belanda. Buku ini ditulis Multatuli di Belgia pada tahun 1859 dan menjadi kritik tajam yang telah membuka mata publik dunia, tentang perihnya penindasan atau Gadis Kretek - Ratih KumalaDengan latar waktu dari periode penjajahan Belanda hingga kemerdekaan, para pembacanya akan dibawa berkenalan dengan perkembangan industri kretek di Indonesia. Rasakan Kelamnya, Beli Bukunya di Sini Lebas, Karim, dan Tegar, yang merupakan pewaris Kretek Djagad Raja, sedang gelisah. Ayah mereka sekarat. Dalam penantian ajalnya, ia menyebut nama perempuan lain yang bukan istrinya, yaitu Jeng memutuskan untuk menelusuri ke seluruh penjuru Jawa mencari Jeng Yah, sebelum sang ayah tiada. Perjalanan ini bagaikan napak tilas bisnis, serta menguak rahasia keluarga. Siapakah sebenarnya Jeng Yah? Apakah mereka berhasil menemukannya?Baca juga Novel Gadis Kretek akan Dijadikan Serial di Netflix13. Burung - burung Manyar - MangunwijayaNovel ini berlatar pada tahun 1934-1978 di Indonesia, sejak penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, perang kemerdekaan hingga masa Orde Baru. Ada Atik, perempuan berani dan pribadi yang aktif, ia bekerja membantu Sjahrir, seorang perintis dan revolusioner kemerdekaan Kelamnya, Beli Bukunya di Sini Selain itu, ada juga Teto, sang kekasih Atik yang bergabung dengan Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger atau KNIL, alias Tentara Kerajaan Hindia-Belanda. Kamu akan disuguhkan dinamika hubungan keduanya yang mengaduk emosi, namun juga memperlihatkan gambaran akan lingkungan sosial pada masa Teh dan Pengkhianat - Iksaka BanuBerisi 13 cerita pendek yang memperlihatkan kita akan sejarah yang berwarna-warni. Semuanya berlatarkan masa kolonial. Penulis menampilkan sejarah sebagai pergulatan manusia bersusah senang, adanya kekecewaan dan juga Kelamnya, Beli Bukunya di Sini Ceritanya bukan hanya tentang berperang melawan penjajahan, tapi tentang masalah kemanusiaan, fanatisme, pengorbanan, hingga perjuangan melawan ketidakadilan. Ada cerita tentang awal mula sepeda dipakai kaum bumiputra di Hindia-Belanda, sewaktu wabah cacar mengancam sementara transportasi masih terbatas, saat globe masih jadi produk pencerahan budi yang mewah, karena banyak yang merasa bahwa bumi itu datar, dan masih banyak cerita lainnya. 15. Cantik itu Luka - Eka KurniawanKarya ini menceritakan seorang perempuan cantik di masa akhir kolonial, yang terpaksa harus bekerja memuaskan nafsu para tentara Jepang. Didesak juga oleh keadaan ia sebagai seorang tahanan, karena seorang turunan Indo-Belanda. Ia bernama Dewi Kelamnya, Beli Bukunya di Sini Karena hal tersebut, ia pun melahirkan tiga putri yang begitu cantik namun tak tahu siapa ayahnya. Dewi Ayu cukup kesal melihat anaknya yang selalu digoda lelaki. Ia tahu bahwa kecantikan mereka suatu saat akan berakibat buruk juga bagi mereka sendiri. Saat mengandung anak keempat, ia malah berdoa agar anaknya memiliki paras yang yang buruk atau jelek. Anak terakhirnya itu diberi nama Cantik, dan 12 hari setelahnya ia berbagai masa di Indonesia, cerita dalam novel ini berlatarkan dari penjajahan Belanda, Jepang, masa kemerdekaan, hingga masa G30S. Ada peristiwa sejarah yang dilihat dari sudut pandang masyarakat kecil. Menguak kutukan dan tragedi keluarga dibalut roman, kisah hantu, kekejaman politik, mitologi, dan juga Novel Cantik Itu Luka Rayakan 20 Tahun dengan Sampul TerbaruMembaca novel fiksi sejarah dapat membuatmu merasa seperti memasuki mesin waktu. Nah, sudah siap untuk mengarungi imajinasi kembali ke masa lampau? Sebagai SahabatTanpaBatas, Admin akan membantumu mengarungi sejarah dengan diskon spesial. Yuk, checkout buku-bukunya sekarang!Temukan Semua Promo Spesial di Sini! Sumber foto header Dok. Albin Sayyid Agnar dan Almira R. NatasyaBaca juga Rekomendasi Novel Jepang Terjemahan yang Seru Abis!
Sejarahadalah salah satu ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang asal usul dan perkembangan serta peranan masyarakat di masa lampau berdasarkan metodologi tertentu.ï»żSalah satu cara untuk menghilangkan kebosanan adalah dengan membaca buku. Walaupun minat membaca orang Indonesia sendiri terbilang rendah, nyatanya kita dapat mengantisipasinya dengan membaca buku sesuai keinginan kita. Terdapat banyak sekali genre buku yang bisa kamu eksplorasi untuk menumbuhkan minat kamu menyukai buku-buku fiksi yang juga di dalamnya terdapat sisipan sejarah masa lampau, tentu pilihan genre yang harus kamu baca adalah novel fiksi sejarah. Nah, berikut ini ada rekomendasi lima novel fiksi sejarah yang wajib kamu baca minimal sekali seumur Homegoing - Yaa GyasiBuku Homegoing oleh Yaa Gyasi dok. ini berlatar pada abad ke-18 di daerah Ghana. Dikisahkan dua saudara jauh yang belum pernah bertemu sama sekali. Effia menikahi pria Inggris yang kaya raya sehingga membuat hidupnya bercukupan. Sedangkan saudarinya, Esi harus menjadi korban perbudakan. Esi bahkan menjadi budak di kastil mewah yang ditinggali oleh yang ditulis oleh Yaa Gyasi in tentu menggambarkan perbudakan yang terjadi pada ras kulit hitam yang pernah terjadi berabad-abad silam. Selain itu, novel yang terbit pada tahun 2016 ini juga berisi mengenai pentingnya mengetahui silsilah keturunan keluarga. Homegoing sendiri menjadi salah satu New York Times Notable My Name Is Red - Orhan PamukBuku My Name is Red oleh Orhan Pamuk dok. Pamuk merupakan novelis asal Turki yang sudah memenangkan penghargaan Nobel untuk kategori Kesusastraan. Salah satu novel terbaik yang pernah ditulisnya adalah My Name Is Red. Novel ini bahkan sudah memenangkan penghargaan This IMPAC Dublin Literary Name Is Red sendiri berlatar pada abad 16 di Istanbul, Turki. Diceritakan bahwa Sultan Ottoman membayar beberapa seniman berbakat untuk membuat ikut berkontribusi dalam membuat buku guna memperkuat kekuasaannya. Namun, secara tiba-tiba salah satu seniman tersebut menghilang. Para seniman lain pun dituduh menjadi penyebab terbunuhnya seniman tersebut. Baca Juga 5 Penulis Novel Populer asal Jepang dengan Genre Detektif, Siapa Saja? 3. Property - Valerie Martin Buku Property oleh Valerie Martin dok. adalah salah satu novel yang menuliskan tentang kengerian dari tindakan perbudakan. Namun, novel ini memakai sudut pandang dari si pemilik budak tersebut. Manon Gaudet adalah istri dari pemilik perkebunan terbesar di Lousiana pada tahun 1828. Ada suatu kejadian yang membuatnya harus melukai budaknya yang bernama itu, Manon menjadi sedikit terobsesi dengan Sarah. Sedangkan Sarah sendiri memiliki hubungan terlarang dengan suami Manon. Novel Property pertama kali diterbitkan pada tahun 2003 lalu. Valerie mendapatkan penghargaan Womenâs Prize untuk kategori Fiksi berkat novel ini. Selain itu, Property juga disebut menjadi salah satu dari 10 novel fiksi sejarah terbaik menurut The The Nightingale - Kristin HannahThe Nightingale oleh Kristin Hannah dok. The Nightingale yang ditulis oleh Kristin Hannah berlatar pada masa Perang Dunia II. Meski begitu, novel ini sangat berbeda dari novel perang pada umumnya. Novel ini memakai sudut pandang perempuan pada kejadian mengerikan yang juga mengubah jalannya sejarah pada tahun 1940-an dua orang saudari, Vianne dan Isabelle yang terpisah dari Jerman ke Prancis. Vianne harus mempertahankan rumahnya yang diminta oleh kapten tentara Jerman. Namun, di sisi lain dia juga harus mmebuat pilihan agar ia dan saudarinya tidak dibunuh. Sedangkan Isabelle jatuh cinta pada Gaetan, yang mempercayai bahwa Prancis dapat mengalahkan Jerman. Sayangnya Gaetan malah menghianati Bumi Manusia - Pramoedya Ananta ToerBuku Bumi Manusia oleh Pramoedya Ananta Toer dok. Google Play BooksRasanya tidak lengkap jika penyuka fiksi sejarah melewatkan salah satu karya terhebat dari Pramoedya Ananta Toer. Novel ini merupakan seri pertama dari Tetralogi Buru yang terbit pada tahun 1980 lalu. Novel ini sudah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa. Bumi Manusia juga sudah diangkat di layar kaca pada tahun 2019 oleh Falcon ini mengisahkan tentang pribumi totok dan siswa HBS bernama Minke yang memiliki pemikiran kebarat-baratan. Bahkan tidak jarang ia menghina kebudayaannya sendiri dan mengagungkan Belanda. Namun, semua itu berubah semenjak ia bertemu Nyai Ontosoroh dan jatuh cinta dengan anaknya, Annelies rekomendasi lima novel bergenre fiksi sejarah yang tidak boleh kamu lewatkan. Kira-kira di antara kelima novel hebat di atas, nomor berapa yang sudah kamu baca tuntas, nih? Baca Juga 5 Penulis Novel Populer asal Jepang dengan Genre Detektif, Siapa Saja? IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.
MenurutKolker (1983:3) membaca merupakan suatu proses komunikasi antara pembaca dan penulis dengan bahasa tulis. Hakekat membaca ini menurutnya ada tiga hal, yakni afektif, kognitif, dan bahasa. Perilaku afektif mengacu pada perasaan, perilaku kognitif mengacu pada pikiran, dan perilaku bahasa mengacu pada bahasa anak.
Kilasan Buku By on 17 Mei 2017 ; 408 views Rating 0 votes, average 0,00 Log in to rate this. Bagi sebagian orang, seni itu untuk dipraktikkan, bukan untuk dihapal teori-teori ataupun sejarahnya. Pendapat tersebut, meski ada benarnya, tapi bisa diperdebatkan. Bagi seorang seniman, tentunya karyanya akan lebih mendalam jika punya pemahaman teori ataupun sejarah. Sedangkan bagi para penikmat seni, akan lebih mudah bagi mereka untuk memahami sebuah karya jika punya wawasan yang luas dan pengetahuan yang mendalam art knowledge. Buku berjudul Sejarah Estetika yang ditulis oleh Martin Suryajaya ini merupakan buku tentang seni yang dapat dikatakan paling lengkap dan komprehensif yang pernah terbit di Indonesia. Dengan jumlah halaman hampir seribu, buku tersebut memaparkan teori dan sejarah seni dari mulai zaman purba hingga ke masa kini. Pemilihan istilah âestetikaâ dilakukan karena buku ini juga merupakan buku filsafat. Ada upaya untuk menggali hakikat terdalam bukan hanya dari seni, tapi juga dari konsep âkeindahanâ secara umum. Di sini kita serasa menikmati perjalanan peradaban manusia dari zaman ke zaman. Judul Buku Sejarah Estetika Penulis Martin Suryajaya Penerbit Gang Kabel Tahun Terbit 2016 Jumlah Halaman 603 ISBN 978 â 602 â 3091 â 81 â 2 Buku Sejarah Estetika memulai pemaparannya dari pengertian estetika itu sendiri, sebelum melanjutkan âpetualanganâ-nya ke periode prasejarah, Yunani Antik, Helenis, Abad Pertengahan, Renaisans, tradisi lain seperti India dan Cina, Pencerahan, Romantik, Pasca-Romantik, Kontemporer, Marxis, Fenomenologis, hingga Pascamodern. Di setiap periode-periode tersebut, Martin menjelaskan pemikiran sejumlah tokoh dengan pandangan yang beragam mengenai estetika. Setelah pemaparan pikiran-pikiran tersebut, Martin kemudian membubuhkan komentar ataupun kritik sehingga penulis tidak hanya berperan sebagai penyunting saja, tapi juga turut menyumbangkan pemikirannya. Buku-buku mengenai estetika bukanlah buku-buku yang jarang. Judul-judul yang tersebar antara lain Pengantar Estetika karya Dharsono Sony Kartika, Estetika Filsafat Keindahan karya Mudji Sutrisno, Estetika Pengantar Filsafat Seni karya Matius Ali, hingga Estetika Sebuah Pengantar karya A. A. M. Djelantik. Hanya saja, kelebihan buku Sejarah Estetika ini adalah ketebalan materinya yang membuat para pembaca akan lebih dipuaskan oleh kajian yang komprehensif. Martin hampir tidak menyisakan lubang karena juga menyisir habis pemikiran-pemikiran yang tidak umum ada di buku estetika lain seperti dari Philodemos, Ibn Al-Haytham, Eduard Hanslick dan Dziga Vertov. Buku ini adalah buku yang sangat direkomendasikan bagi seniman yang ingin menambah bobot kekaryaannya dan bagi penikmat seni ataupun awam yang ingin mempeluas khazanah pengetahuannya sehingga menjadi lebih mudah dalam mengapresiasi karya seni. Baca juga Ekstase Pemikiran ST Sunardi Karya Seni yang Telanjang Pangeran dari Balkh di Taman Metafor Mardi LuhungEvery encounter with a work of art has the potential to give birth to the aesthetic experience. The depth of the experience and its transformative effect is different on each person. However, as an experience, its existence is not in doubt. The problem lies on whether an aesthetic experience is something purely subjective or objective. If the aesthetic experience is objective, to what extent can it be accounted for? Could an aesthetic experience encourage certain ethical action? In this paper the author argues that an aesthetic experience is always moving between the directions of a pendulum, namely, when the artwork appeared to the awareness of the subject and when the experiencing subject narrated the experience. The author wants to defend one of the main positions in aesthetics which says that not only the aesthetic experience encourages a particular moral action, the artwork itself might often stand as a medium of a moral struggle for the betterment of the people. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free 22MELINTAS PENGALAMAN ESTETIS KE SIKAP ESTETIS DAN ETISYeremias Jena Department of Ethics School of Medicine Atma Jaya Catholic University Jakarta, IndonesiaAbstract Every encounter with a work of art has the potential to give birth to the aesthetic experience. The depth of the experience and its transformative effect is different on each person. However, as an experience, its existence is not in doubt. The problem lies on whether an aesthetic experience is something purely subjective or objective. If the aesthetic experience is objective, to what extent can it be accounted for? Could an aesthetic experience encourage certain ethical action? In this paper the author argues that an aesthetic experience is always moving between the directions of a pendulum, namely, when the artwork appeared to the awareness of the subject and when the experiencing subject narrated the experience. The author wants to defend one of the main positions in aesthetics which says that not only the aesthetic experience encourages a particular moral action, the artwork itself might often stand as a medium of a moral struggle for the betterment of the works of art ïŹ beauty ïŹ aesthetic experience ïŹ aesthetic attitudes ïŹ ethical stance ïŹ moral ïŹ inner sense ïŹ aesthetic spaceIntroduksi Pada 1983, di Komunitas LâArche di Trosly Prancis bagian utara, Henri Nouwen, rohaniwan dan penulis buku-buku spiritual [22-44] 23Yeremias Jena Dari Pengalaman Estetis ke Sikap Estetis dan Etismenuliskan pengalaman estetis dan rohaninya ketika berjumpaâ dengan lukisan âKembalinya si Anak Hilangâ karya Rembrandt dari abad ke-17. Pengalaman estetis itu secara agak panjang dikutip sebagai berikut.âSaya melihat seseorang mengenakan mantel merah lebar dengan lembut menyentuh bahu seorang anak muda compang-camping yang berlutut di depannya. Mata saya begitu terpaku, sehingga saya tak mampu beralih dari gambar itu. Saya merasa dicengkam oleh kemesraan hubungan kedua tokoh itu, mantel merah yang hangat, jubah sang pemuda yang kuning keemasan, dan cahaya misterius yang meliputi keduanya. Lebih dari itu, sepasang lengan â lengan seorang tua â yang menyentuh bahu sang pemuda yang paling menyentuh batin saya. Sentuhan yang sebelumnya tak pernah saya rasakan. [...] Sungguh indah, lebih dari sekadar indah [...] membuat saya ingin menangis dan tertawa pada saat yang sama [...] tak dapat saya ceritakan apa yang saya rasakan begitu melihatnya. Lukisan itu sangat menyentuh. [...] Saat pertama kali melihat Kembalinya Si Anak Hilangâ, saya baru saja selesai memberikan kuliah keliling di Amerika Serikat selama enam minggu yang sangat melelahkan. [...] Saya sungguh-sungguh amat lelah, demikian lelahnya sehingga hampir tak mampu berjalan. Saya menjadi cemas, kesepian, gelisah dan merasa tak berarti. Selama perjalanan saya merasa bagaikan seorang pahlawan keadilan dan perdamaian, merasa mampu menghadapi dunia yang kelam tanpa takut sedikit pun. Tetapi setelah semua itu berlalu, saya sungguh merasa seperti seorang anak kecil yang rapuh, yang rindu untuk merangkak ke pangkuan ibu dan menangis. [...] Itulah keadaan saya ketika pertama kali berjumpa dengan karya Rembrandt, Kembalinya si Anak Hilangâ[...]. Hati saya melonjak saat melihatnya. Setelah perjalanan panjang yang melelahkan yang menyingkapkan diri saya, pelukan lembut bapa dan anak mengungkapkan segala sesuatu yang saya rindukan pada saat itu. Sesungguhnya, saya adalah seorang anak yang kehabisan tenaga setelah perjalanan panjang, saya merindukan pelukan, saya mencari sebuah rumah yang dapat memberi rasa aman. Menjadi anak yang pulang ke rumah, itulah saya dan yang saya inginkan.â1 Pengalaman estetis adalah bagian terpenting dari pengalaman perjumpaan dengan karya-karya seni. Setiap pengalaman estetis selalu melibatkan sebuah fenomenon, entah itu objek atau sekumpulan objek, kejadian-kejadian yang berulang, seuntai melodi, dan semacamnya, yang dialami sebagai yang memiliki bentuk ideal tertentu ideal form. Memang pengalaman estetis memiliki sisi subjektif yang kuat, tetapi juga tidak bisa dilepaskan dari kualitas-kualitas objektif tertentu dari objek estetis tersebut. Seperti yang nyata dalam pengalaman Nouwen di atas, karya seni âKembalinya si Anak Hilangâ dengan kualitas-kualitas objektifnya mampu mendorong subjek untuk mengalami diri dan memaknakan pengalaman 24MELINTAS ketika â...the individual feels whole, vitalized, more positive, and closely engaged with the world.â2 Setiap perjumpaan dengan objek-objek estetis membawa seseorang kepada pengalaman estetis tertentu. Pengalaman estetis inilah yang kalau dialami secara serius tidak hanya membangkitkan sikap estetis dan komitmen tertentu, tetapi juga membuat guratan kehidupan menjadi lebih utuh dan mendalam. Pengalaman estetis menggetarkan dan menjerat, tetapi juga mengundang dan terlibat. Pengalaman dan sikap estetis itulah yang akan menjadi fokus tulisan ini. Supaya dapat memahami pengalaman dan sikap estetis itu secara lebih tepat, tulisan ini akan diawali dengan sebuah uraian sederhana mengenai apa itu karya seni yang mampu membangkitkan pengalaman estetis. Uraian kemudian dilanjutkan dengan menjelaskan pro kontra pengalaman estetis. Di akhir tulisan ini penulis akan menunjukkan bahwa pengalaman estetis ternyata mampu membawa individu ke sikap dan komitmen etis tertentu, entah itu pertobatanâ dan pembaruan hidup individu, maupun perubahan dan perbaikan masyarakat secara Karya Seni Pertanyaan mengenai apa itu karya seni tidak mudah dijawab lantaran masih hangatnya perdebatan seputar persoalan ini. Sejak Plato terdapat dua ekstrim pemikiran yang mencoba membahas apa itu karya seni dan elemen-elemennya. Ketika menjawab pertanyaan ini, Plato tidak pertama-tama merujuk kepada sebuah karya seni konkret tertentu, tetapi kepada Keindahan Abadi. Karya seni konkret mengandung nilai keindahan hanya jika mengimitasi Keindahan Abadi tersebut. Dalam konteks pengalaman Nouwen sebagaimana dikutip di atas, pengalaman kemaharahiman Tuhan yang memeluk dan mengampuni anak yang durhaka adalah Keindahan Abadi bentuk formal ideal dari Keindahan yang melampaui lukisan karya Rembrandt itu sendiri. Meskipun demikian, baik karya seni konkret lukisan yang terpampang di hadapan saya atau bentuk idealnya, keduanya sama-sama mengakui âkeindahanâ sebagai bagian terpenting dari pengalaman Di lain pihak, terdapat pandangan yang hanya menekankan kekonkretan karya-karya seni lepas dari sebuah dunia ideal yang dalam pemahaman Platonis dipahami sebagai asal-muasal karya seni tersebut. 25Memang agak berlebihan untuk mengklaim bahwa Aristoteles mewakili ekstrim pemikiran ini, tetapi pandangan-pandangannya menjadi landasan bagi penegasan mengenai kekonkretan karya-karya seni. Bagi Aristoteles, karya seni bersifat sangat konkret, tertentu, ada di dunia ini, tetapi yang memancarkan keindahan karena memenuhi kriteria-kriteria keindahan seperti unity, order, magnitude, symetri, dan deî Dalam sejarah îlsafat, Hegel diakui sebagai îlsuf yang mampu mensintesakan pemikiran yang meremehkan karya-karya seni aktual dan pemikiran yang terlalu mengagung-agungkan kekonkretan karya seni. Bagi Hegel, kedua kutub pemikiran ini bersifat penting dalam memahami karya-karya seni dan mengapresiasinya. Karya seni apa pun harus merupakan sintesis dari apa yang disebut âuniversalitas metaîsikâ dengan dengan âpartikularitas objek-objek estetisâ.5 Demikianlah, berhadapan dengan lukisan-lukisan telanjang Pablo Picasso, misalnya, kita tidak akan terjerat dalam pesona ketelanjangan tubuh perempuan-perempuan yang telah membangkitkan birahi atau menghakiminya sebagai porno, tetapi melihat juga universalitas metaîsis yang ada di baliknya. Perempuan-perempuan telanjang yang membirahi dan menjadi objek dalam lukisan-lukisan Picasso bukan terutama bagian pantat, pinggul atau buah dada, tetapi totalitasnya. Melalui ketelanjangan para perempuan Picasso dapat memahami dirinya sendiri, bahwa dirinya hanya dapat dipahami melalui sebuah cermin yang sifatnya agak Perkembangan karya-karya seni senantiasa bergerak di antara dua kutub ini. Karya-karya seni dapat dihasilkan sebagai ekspresi dari pengalaman-pengalaman estetis atau situasi-situasi tertentu. Dari perspektif ini, pengalaman estetis atau situasi-situasi estetis tertentu telah mengatasi kekonkretan. Meskipun demikian, eksistensinya tidak bersifat independen dari dunia kehidupan. Di lain pihak, kreativitas seni juga dapat berangkat dari kekongkretan, dari sebuah karya seni tertentu yang real sebagaimana dialami Henri J. M. Nouwen. Menurut Ruth L. Saw, kalau titik berangkatnya adalah sesuatu yang konkret, misalnya karya seni tertentu, maka paling tidak kita memperoleh semacam kepastian bahwa âwe have some undisputed facts, without any doubt whatever, there are pictures hanging on the walls of galleries, statues standing on pedestral, dramatic performances, ballets, and operas in theaters, and instrumentalists and singers performing in concert halls.â7 Masih menurut Ruth L. Saw, Yeremias Jena Dari Pengalaman Estetis ke Sikap Estetis dan Etis 26MELINTAS penting kita tidak terjebak dalam kekonkretan suatu karya seni. Karya-karya seni diciptakan tidak semata-mata untuk dipamerkan, jadi tidak sekadar demi tujuan hiburan atau ekonomi. Karya seni juga untuk âmembangkitkanâ kontemplasi estetis. Bahkan dengan mengatakan bahwa konntemplasi merupakan reaksi normal perjumpaanâ seseorang dengan karya seni, Ruth L. Saw berani mengklaim bahwa suatu objek seni gagal menjadi objek seni jika subjek yang menginderainya tidak tergerak ke dalam sebuah Dan bahwa objek-objek penginderaan hanya dapat disebut sebagai karya seni jika ada pengalaman estetis dan kontemplasi. Tidak dapat diragukan, beberapa dari pengalaman ini terjadi ketika âseseorang yang menginderai menundukkan dirinya secara aktif dan reseptif ke dalam satu dari objek-objek seni tersebut.â9 Pertanyaannya, apa yang dimaksud dengan karya seni yang perjumpaan dengannya membuka ruang bagi sebuah pengalaman kontemplatif dan estetis itu? Bagi Ruth L. Saw, karya seni adalah â....picture, play, poem, etc., which has reached the public, been pronounced favorably upon by competent critics, and is now considered to be part of the tradition of English literature, French painting, and so on.â10 Karya-karya seni dapat dikelompokkan ke dalam empat Pertama, benda-benda yang dihasilkan sendiri oleh sang seniman dan disuguhkan kepada masyarakat untuk âdinikmatiâ. Misalnya, lukisan dan patung. Ini adalah kategorisasi yang paling umum dari karya-karya karya-karya seni instruktif dalam arti menjelaskan atau menginstruksikan kepada pembaca/pemirsa bahwa objek ideal karya tersebut hanya bisa dialami dengan cara melakoninya, membacanya, melafalkannya, melantunkannya, dan sebagainya. Misalnya, lembaran musik, naskah-naskah drama, novel-novel, puisi-puisi, dan sebagainya. Memainkan melodi musik tertentu atau melakonkan naskah drama akan menyingkapkan objek ideal keindahan yang sifatnya tidak kekal ephemeral. Sifat ketidakkekalan inilah yang membuat sebuah drama, puisi, atau musik harus terus dipentas ulang setiap kali orang ingin mengalami objek idealnya. Sebagai catatan, meskipun tampil dalam bentuk cetakan, objek-objek ideal yang hendak ditampilkan sebuah novel atau puisi tidak pernah bersifat permanen atau kekal. Dalam arti itu, cita rasa keindahan sebuah novel atau puisi hanya bisa dialami dengan membaca dan terus pertunjukan drama, balet, komposisi-komposisi musik. 27Termasuk dalam kelompok ini adalah pertunjukan-pertunjukan di mana sang aktor tidak sedang menjalankan instruksi orang lain atau artis lain, tetapi kreativitas panggung sang aktor itu sendiri, misalnya sulap, lawak, dan tarian-tarian tertentu. Dalam arti itu, selain penulis drama, kreator tari/balet, atau komposer musik adalah seniman-seniman hebat, subjek yang melakoninya di atas panggung pun para seniman yang mampu merepresentasikan objek ideal keindahan sebuah karya karya-karya seni yang dihasilkan untuk tujuan tertentu yang bermanfaat yang meskipun tujuan akhirnya bukan untuk kontemplasi, pengalaman atasnya dapat memicu kontemplasi pada level tertentu. Termasuk dalam kategori ini adalah pertunjukan-pertunjukan yang diadakan dengan tujuan yang bukan kontemplasi, dan yang tidak dapat membangkitkan kontemplasi, misalnya olahraga, parade militer, upacara-upacara ritualistik, dan semacamnya. Dengan pembedaan karya seni seperti ini Ruth L. Saw membedakan seniman dari yang bukan seniman. Mereka yang menghasilkan karya-karya seni kategori pertama adalah seniman par excellence. Sementara kategori-kategori lain dapat saja ditekuni oleh sang seniman sendiri maupun mereka yang bukan seniman. Demikianlah, naskah-naskah drama, misalnya, dapat dihasilkan atau diperankan baik oleh para seniman maupun bukan seniman. Seorang yang bukan seniman dapat saja menulis naskah drama secara sangat bagus karena ia memang seorang penulis profesional. Seorang aktor dapat memerankan peran yang dipercayakan kepadanya karena kesetiaannya kepada instruksi sutradara. Masih dalam konteks ini, seseorang juga dapat memainkan peran sebagai pengeritik seni secara baik, tetapi ia bukan seorang seniman. Pengeritik seni mendasarkan kritik-kritiknya pada objek seni tertentu, sementara karya-karya seni sang seniman sifatnya lebih Meskipun pembedaan semacam ini belum bisa diklaim sebagai tuntas dan distingtif, satu hal yang jelas yang dapat mencerahkan pemahaman kita mengenai kategori seniman dan non-seniman adalah aspek individualitas. Karya seni dapat dihasilkan oleh sang seniman karena ia memiliki individualitas. Artinya, sang seniman menghasilkan karya-karyanya sebagai ekspresi dari sebuah pengalaman estetis yang sangat intens baik dengan dirinya maupun dengan dunia sekitarnya. Selain itu, karya-karya seni tersebut merupakan usaha sang seniman dalam mengkonkretkan Yeremias Jena Dari Pengalaman Estetis ke Sikap Estetis dan Etis 28MELINTAS tersebut, dan bahwa ekspresi seni tidak terjadi setiap saat, bahkan bisa saja terjadi hanya beberapa kali dalam diri sang seniman itu sendiri. Pada gilirannya, orang lain yang mengalami pengalaman estetis karena mengkontemplasi karya-karya sang seniman itu juga mengalami individualitas. Dalam arti bahwa pengalaman estetis tersebut terjadi karena adanya penundukanâ diri pada karya seni tertentu dalam situasi tertentu tanpa peduli apakah orang lain akan mengalami pengalaman yang sama atau tidak. Pengalaman semacam inipun unik dan sulit untuk dibalik atau Estetis Di atas sudah dikatakan bahwa pengalaman estetis menjadi semacam prasyarat bagi seorang seniman untuk dapat menghasilkan karya-karya yang bernilai seni. Selain itu, dapat dikatakan juga bahwa karya seni, ketika disajikan ke publik, dapat membangkitkan pengalaman estetis tertentu pada para pemirsa atau apresiator seni. Pertanyaanya, apa itu pengalaman estetis? Apakah pengalaman estetis tersebut bersifat subjektif atau objektif ? Apakah pengalaman estetis membangkitkan sikap-sikap estetis tertentu? Pertanyaan-pertanyaan ini akan dijelaskan dengan mendeskripsikan tinjauan historis singkat mengenai pengalaman estetis dan kajian mengenai keindahan sebagai karateristik utama karya-karya seni yang membangkitkan pengalaman estetis. Pengalaman Estetis dalam Sejarah14 Pengalaman estetis mempengaruhi seluruh level kehidupan manusia. Menurut George Hagman, pengalaman estetis sebetulnya adalah medium yang melaluinya aspek formal dari keterhubungan relatedness dan fantasi diartikulasikan dan diperluas melampaui interaksi subjek yang sedang mengalami pengalaman estetis dengan objek seni, bergerak memasuki relasi individu dengan lingkungannya, demikian pula dengan sesama dan institusi yang membentuk sebuah kehidupan sosial. Pengalaman estetis terutama adalah perluasan pengalaman subjek akan keterhubunganâ attunement, kecocokanâ îttedness dan kepuasanâ satisfaction yang memungkin seseorang berinteraksi secara baik dengan keseluruhan alam Tiga karakteristik pengalaman estetis dapat disebutkan di sini. 29Pertama, pengalaman estetis yang melibatkan relasi mendalam antara individu dengan objek seni dihayati sebagai sikap atau keadaan pikiran ketika seseorang berhadapan dengan objek atau karya seni. Dalam pemahaman David Hume, keadaan pikiran itu dimaksud sebagai persepsi subjek atas objek seni serta perasaan yang ditimbulkan. Kedua, individu secara sadar dan sukarela memilih objek atau karya seni tersebut demi pengalaman estetis; di mana objek itu dapat berupa objek atau kejadian apa saja. Individu yang mengadopsi objek tersebut akan mentransformasikannya menjadi objek estetis. Ketiga, secara tradisional adopsi sikap estetis selalu di bawah kontrol individu. Ia merupakan sikap yang sukarela dan sadar di pihak individu. Dalam arti itu, setiap pengalaman estetis melibatkan distingsi subjekâobjek yang tegas dengan maksud untuk mempertahankan kontrol subjektif individu. Selain itu, pengalaman estetis juga dibedakan dari pengalaman yang sekadar bersifat perasaan subjektif, selain karena adanya kontrol nalar subjek atas pengalamannya, juga karena perasaan estetis yang ditimbulkan itu bersifat âkenikmatan yang murni, menyenangkan, menimbulkan rasa kagum, dan kegembiraan.â16 Apakah pemahaman mengenai pengalaman estetis ini dapat diterima sebagai deskripsi yang memadai? Menurut David Fenner, pemahaman seperti ini belum menyentuh isi atau substansi sikap estetis itu sendiri. Inilah sebabnya mengapa kemudian muncul berbagai teori mengenai sikap estetis yang mencoba menguak isi atau substansi sikap-sikap estetis. Teori ini pertama kali muncul di Inggris pada abad ke-18, kemudian di Jerman pada abad ke-18 dan awal abad ke-19. Bagaimana teori-teori mengenai pengalaman estetis dapat dideskripsikan? Mari kita gunakan pemikiran beberapa îlsuf besar untuk menjawab pertanyaan ini. Adalah Lord Shaftesbury 1671-1713, îlsuf pertama yang mengemukakan gagasan mengenai ketanpapamrihan disinterestedness dalam estetika. Sebagaimana kita ketahui, gagasan ketanpapamrihan yang dikembangkan dalam estetika merupakan bagian dari proyek etika Shaftesbury dalam menangkal egoisme etis dari Thomas Dengan mengadopsi posisi Platonis, Shaftesbury berpendapat bahwa terdapat suatu yang absolut yang keberadaannya melampaui baik subjek yang mengalami maupun dunia alamiah tempat berlangsungnya pengalaman estetis. Bagi dia, akses epistemologis terhadap realitas absolut ini hanya bisa dilakukan melalui sikap ketanpapamrihan disinterestedness. Sikap tanpa pamrih ini Yeremias Jena Dari Pengalaman Estetis ke Sikap Estetis dan Etis 30MELINTAS berkonotasi negatif, dalam arti âsikap tidak dimotivasi oleh kepentingan atau keuntungan diri sendiriâ. Meskipun demikian, sikap tanpa pamrih tidak berarti sikap acuh tak acuh uninterest. Alasannya, sikap tanpa pamrih bisa saja memicu sikap ketertarikan interest subjek pengalaman, dengan catatan bahwa ketertarikan ini tidak dimotivasi atau diinformasi oleh isu-isu yang sifatnya relatif dan subjektif dari segi subjek pengalaman itu sendiri. Berangkat dari sikap demikian, individu atau subjek pengalaman akan mampu meyakinkan dirinya bahwa ia memiliki kemampuan rasional dan kritis dalam mengevaluasi pengalaman estetisnya sendiri. Francis Hutcheson 1694-1746, seorang îlsuf yang setuju dan menerima gagasan ketanpapamrihan disinterestedness dalam estetika sebagaimana dikemukakan Shaftesbury. Berbeda dengan Shaftesbury yang memahami konsep ketanpapamrihan dalam pengalaman estetis secara Platonis sebagai upaya rasional membebaskan diri dari kungkungan materi benda seni sebagai materi, Hutcheson justeru seorang realis yang percaya bahwa eksistensi nilai-nilai estetis merupakan kombinasi antara keadaan subjektif dan objektif. Meskipun memiliki perbedaan sudut pandang, baik Shaftesbury maupun Hutcheson sebetulnya meletakkan semacam dasar universal bagi pengalaman estetis, bahwa nilai-nilai estetis tidak terdapat dalam objek-objek eksternal atau dalam dunia objektif, tetapi di dalam subjek, terutama dalam kemampuan menginderai dan menikmati keindahan. Bagi Hutcheson, setiap individu memiliki kemampuan nikmat atau selera faculty of taste yang sebenarnya adalah âinternal senseâ yang memungkinkan seseorang memiliki pengalaman estetis. Sama seperti kelima indera lainnya, indera internal ini menjalankan fungsi yang dapat menimbulkan pengalaman estetis. Konsekuensinya, ââŠwhen we see an object whose properties trigger in one the experience of beauty, one recognize the experience as beauty. And just as one can go wrong perceptually, one can misperceive beauty.â18 Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa pemikiran para îlsuf tersebut sangat menekankan sikap tanpa pamrih disinterestedness sebagai conditio sine qua non bagi pengalaman estetis. Bahwa sikap tanpa pamrih membebaskan individu dari berbagai agenda pribadi dalam setiap pengalaman estetis. Secara fenomenologis, sikap tanpa pamrih dalam memahami objek estetis memberi ruang bagi objek seni untuk menampakkan diri dalam 31tradisi Platonis sebagaimana dibela Lord Shaftesbury adalah sikap tidak menikmati objek seni ketika keindahan ideal menampakkan diri pada intelek dan kemampuan nalar untuk memahaminya â karena adanya semacam internal senses atau faculty of taste â yang dimiliki setiap individu posisi Francis Hutcheson. Kalaupun sikap ketanpapamrihan disinterestedness diterima sebagai kondisi niscaya bagi terjadinya pengalaman estetis, pertanyaan penting yang belum dijawab adalah apa peran subjek dalam pengalaman estetis tersebut? Apakah atas nama sikap tanpa pamrih, subjek sekadar membiarkan inteleknya dimasuki idea-idea absolut mengenai keindahan dan membawa individu kepada sebuah pengalaman estetis di hadapan absennya objek seni material sebagaimana dibayangkan Shaftesbury dan tradisi pemikiran Platonis? Atau, apakah subjek pengalaman sekadar bersifat pasif berhadapan dengan objek seni dan yakin bahwa pengalaman estetis akan lahir dengan sendirinya karena kehadiran internal sense dalam dirinya? Bagaimana internal sense atau faculty of taste dalam diri individu itu bekerja? Pertanyaan-pertanyaan ini membawa kita kepada pemikiran Immanuel Kant 1742-1804 mengenai pengalaman estetis. Tentang estetika, Immanuel Kant bermaksud menguji sejauh mana putusan-putusan estetis dapat dipertanggungjawabkan, apakah putusan-putusan estetis bersifat subjektif dan karena itu akan selalu melahirkan ketidaksetujuan dari para penahu the knower yang berbeda. Dengan istilah âsubjekif â dimaksud bahwa putusan-putusan estetis tidak didasarkan pada keadaan-keadaan objek tetapi pada orang yang membuat putusan-putusan Immanuel Kant mempostulasikan bahwa pengalaman estetis adalah jenis putusan subjektif yang berbeda dari perasaan-perasaan lainnya dari manusia. Dia merujuk pengalaman estetis ini sebagai rasaâ taste. Bagi Kant, rasaâ sebetulnya adalah kemampuan alamiah manusia yang mirip dengan cara mempersepsi lainnya. Setiap pengalaman estetis selalu diikuti oleh munculnya sensasi kenikmatan dalam sikap ketanpapamrihannya. Kant melihat bahwa rasaâ sebenarnya lebih dekat dengan nalar reason daripada dengan emosi atau sensasi. Ini karena rasaâ mengandaikan diterimanya pengakuan akan suatu kebenaran apriori misalnya keindahan dalam kekonkretan objek seni yang sedang dialami. Jelas bagi Kant bahwa rasa seni aesthetical taste tidak sama dengan emosi atau sensasi yang murni Yeremias Jena Dari Pengalaman Estetis ke Sikap Estetis dan Etis 32MELINTAS mental, karena itu bersifat subjektif. Pengalaman estetis adalah rasa seni objektif yang muncul sebagai pengakuan akan kebenaran apriori keindahan. Bagi Immanuel Kant, sumber pengalaman estetis tidak terletak pada kenikmatan akan keindahan objek, tetapi pada pengakuan akan adanya pengetahuan subjektif atas pengetahuan ideal yang bersifat universal. Pengetahuan-pengetahuan ideal yang universal ini tidak berada dalam sebuah ranah abstrak sebagaimana dibayangkan Plato, Shaftesbury dan seluruh tradisi Platonis; juga bukan dalam wilayah ilahi sebagaimana dipikirkan Pengetahuan-pengetahuan ideal yang universal ini, bagi Kant, adalah konseptualisasi-konseptualisasi a priori universal yang lahir dari putusan-putusan rasional subjek. Misalnya, meskipun semua orang memiliki pengalaman tak terbatas mengenai bentuk atau ukuran dari manusia yang berbeda-beda, kita juga memiliki model mental mengenai manusia yang sempurna, konsep formal mengenai manusia yang cantik dan indah. Pengalaman estetis, bagi Kant, dibangun di atas pemahaman mengenai ideal-ideal internal semacam ini. Dengan begitu, menjadi jelas bahwa bagi Kant, pengalaman estetis itu sekaligus bersifat subjektif manusiawi dan rasional objektif karena putusan yang dihasilkan bersifat terbuka dan diterima oleh semua manusia rasional. Sampai di sini, kita dapat menarik tiga kesimpulan berikut. Pertama, sumber dari pengalaman estetis sebenarnya ada di dalam pikiran dari sang seniman yang menciptakan benda seni dan subjek yang mengalami keindahan karya seni, dan bukan bersifat inheren di dalam objek seni itu sendiri. Dalam arti itu, pemikiran Lord Shaftesbury dan tradisi pemikiran Platonis dengan sendirinya ditolak. Kedua, hanya karya seni tertentu yang mampu membangkitkan rasa seni dalam diri subjek, dalam arti sejauh karya seni tersebut memicu pengetahuan batin inner knowledge atau perasaan yang diasosiasikan dengan pengetahuan ideal universal mengenai keindahan. Dalam arti itu, gagasan Hutcheson mengenai inner sense memiliki kemiripan dengan gagasan Kant mengenai inner knowledge. Hanya saja, inner knowledge Kant bukanlah subjek pasif yang menunggu munculnya pengalaman estetis. Ketiga, sebagaimana juga diakui oleh Shaftesbury dan Hutcheson, pengalaman estetis memang melibatkan sikap ketanpapamrihan atau pengambilan jarak dalam arti kemampuan subjek menangguhkan dari dalam dirinya semua prasangka, kenyamanan psikologis, dan kerelaan memberikan diri kepada pengalaman keindahan itu sendiri. 33Keindahan Pengalaman estetis adalah pengalaman akan keindahan. Itulah pengalaman yang menenteramkan, membuka perspektif ke arah pemahaman mengenai diri dalam keutuhannya, pengalaman perjumpaan dengan realitas dalam totalitasnya, pengalaman penyatuan dengan diri sendiri, sesama dan semesta, dan semacamnya. âBeauty ensnares hearts, captures mind, and stirs up emotional wildîres,â demikian Nancy Etcoff dalam bukunya Survival of the Pretiest. The Science of Tapi, apakah keindahan itu sehingga mampu menjerat hati, menggenggam pikiran, membangkitkan emosi menjadi bernyala-nyala? Pengalaman mengenai apa itu keindahan bergerak di antara dua kutub yang senantiasa bertentangan. Di satu pihak ada pendapat bahwa keindahan â sama seperti kecantikan â adalah sebuah entitas objektif yang dapat dijumpai dan dialami. John R. Zachs, SJ berpendapat bahwa keindahan bukan pertama-tama sebuah konsep, tetapi sesuatu yang kita temukan dalam benda-benda konkret dari pengalaman keseharian kita. Menurut Zachs, yang membuat kita menyebut sesuatu itu indah atau cantik adalah karena sesuatu itu memiliki kemampuan untuk menarik kita, menuntut perhatian kita. Dan kemampuan itu terletak dalam struktur benda-benda yang memiliki harmoni, proporsional dan utuh. Tulis Zachs, âThe beautiful has a material comprehensibility, a kind of inner cohesiveness or necessity. Everything îts together. Beauty formosus is a mistery of form forma.â22 Pandangan mengenai keindahan semacam ini selain menegaskan objektivitas keindahan, juga mengatakan bahwa dalam mengalami keindahan manusia berjumpa dengan sesuatu yang berbeda dari dirinya, sesuatu yang memiliki cahayaâ yang memikat dan kekuatan yang menjerat. Keindahan memiliki daya tahan pesona dan terus membangkitkan rasa kagum. Keindahan merupakan manifestasi dari kedalaman yang tersembunyi dari pengada being itu Di tangan îlsuf dan teolog besar, Thomas Aquinas, keindahan semacam ini memiliki status ontologis bersama dengan kebenaran truth, dan kebaikan goodness. Bagi Thomas, keindahan yang memancar dari kedalaman pengada memiliki kemampuan untuk menarik dan meyakinkan kita karena kesenangan yang ditimbulkan di dalam diri kita didasarkan pada fakta bahwa, di dalamnya, sesuatu yang berasal dari kebenaran yang ultim dan kebaikan dari realitas menjadi visibel dan mengkomunikasikan dirinya kepada kita. Seluruh diskusi mengenai Yeremias Jena Dari Pengalaman Estetis ke Sikap Estetis dan Etis 34MELINTAS sebagai penyataan diri Allah ditempatkan dalam konteks ontologi keindahan semacam Di kutub yang lain terdapat pandangan bahwa keindahan itu tidak ada dalam realitas atau dalam objek-objek seni, tetapi ada dalam pikiran subjek. Keindahan ada dalam imajinasi si subjek, demikian Nancy Ini sebetulnya merupakan kesadaran Cartesian mengenai keindahan yang mengatakan bahwa sesuatu itu indah atau cantik karena ditentukan oleh subjek individu. Contoh yang mendukung gagasan ini ditunjukkan oleh Nancy Etcoff berikut pada waktu Zeuxis melukis Helen of Troya, ia mengumpulkan lima orang gadis tercantik dengan maksud agar kecantikan keindahan kelima gadis itu dapat merepresentasikan kecantikan dan keindahan Helen of Troya. Yang terjadi kemudian adalah kenyataan bahwa Zeuxis menghasilkan karya seni dengan keindahan yang tidak dapat dibandingkan dengan kecantikan dan keindahan kelima gadis pilihannya tersebut. Lalu, dari manakah Zeuxis menemukanâ keindahan? Dari imajinasinya, jadi, dari pikirannya Jika begitu, bagaimana status keindahan itu sendiri, apakah melulu bersifat subjektif atau juga objektif? Ruth L. Saw melihat bahwa kedua kutub ini menjadi hal yang penting dalam memahami keindahan suatu karya seni, asal tidak ada pemutlakan salah satu kutub. Dimensi subjektif memungkinkan tejadinya pengalaman gentarâ, kagumâ, takutâ dan semacamnya setiap kali berhadapan dengan karya-karya seni. Demikianlah, seseorang dapat saja mengatakan bahwa pengalaman estetis dan rasa keindahan yang ditimbulkan dari karya seni ketika dia berjalan di Galeri Nasional tidak jauh berbeda dengan pengalaman estetis dan keindahan yang timbul ketika dia sedang memandang salah satu lukisan dalam galeri tersebut. Pengalaman tersebut dikatakan sebagai yang tidak jauh berbeda karena persepsi subjek mengenai keindahan yang menimbulkan pengalaman dan rasa keindahan Meskipun demikian, keindahan tidak merupakan hasil ciptaan persepsi manusia yang dikenakan pada karya seni. Karya seni memiliki keindahan yang ketika menampakkan diri, menjerat persepsi untuk menenggelamkan diri di dalamnya. Orang seperti Clive Bell, misalnya, mengalami keterpesonaan yang luar biasa berhadapan dengan seni keramik Cina dan lukisan-lukisan pada karpet Karya seni ini bahkan menimbulkan kegentaranâ emosional tertentu,29 persis ketika keindahan 35karya-karya tersebut menampakkan dirinya kepada subjek dan dapat dipahami secara tepat. Alih-alih memperuncing kedua kutub pemikiran tersebut, Ruth L. Saw justru berpendapat bahwa pengalaman estetis dan rasa keindahan dapat terjadi karena sesuai dengan dua watak utama pengalaman keindahan. Pertama, pengalaman estetis dan rasa keindahan merupakan sebuah pengalaman kegembiraan enjoyment, dan bahwa pengalaman kegembiraan ini merupakan persepsi yang tersempurnakan perfected perception. Yang ia maksudkan adalah bahwa persepsi mengenai keindahan suatu karya seni bukan merupakan rekaan si subjek, tetapi benar-benar real. Barangkali contoh berikut ini dapat membantu kita memahami jalan pikiran Ruth L. Saw tersebut. Mario JimÄnes mengalami rasa estetis ketika berhadapan dengan Beatriz GonzĂĄles sebagaimana digambarkan Antonio SkĂĄrmeta dalam novel Il Postino. Pengalaman estetis itu memang sangat kaya dan sulit terwakilkan dalam untaian kata-kata, tetapi bagi seorang Mario JimÄnes, puisi Telanjang karya Pablo Neruda cukup mewakili pengalaman estetis berhadapan dengan Beatriz GonzĂĄles. Dalam perspektif pemikiran Ruth L. Saw, puisi karya Pablo Neruda berikut bukanlah rekaan subjektif, tetapi sebuah potret mendekati objektif dari sosok Beatriz GonzĂĄles. Berikut kutipan engkau sesederhana sebelah tanganmu,Halus, duniawi, mungil, bulat, tembus pandang, gurat apel, lingkar bulanTelanjang engkau bagai malam di Kuba yang birumerambat sulur-sulur anggur dan mengerjap bintang-bintang di engkau begitu indah dan begitu kuningbagai musim panas di gereja bersepuh pengalaman estetis dan rasa keindahan hanya dapat dialami dalam jarak tertentu antara objek seni dengan diri self. Jaraklah yang memungkinkan terjadinya kontemplasi, dan kontemplasilah yang membangkitkan pengalaman estetis dam rasa keindahan. Menurut Ruth L. Saw, jarak distance bukan sekadar sebuah sikap dan tindakan impersonal, juga bukan sekadar sebuah relasi subjekâobjek Ă la Cartesian yang sifatnya intelektualistis. Distansi justru menggambarkan relasi yang personal, seringkali diwarnai oleh emosi yang mendalam, tetapi yang berasal dari Yeremias Jena Dari Pengalaman Estetis ke Sikap Estetis dan Etis 36MELINTAS sifat/karakter yang aneh peculiar character. Di sini yang dimaksud dengan peculiar character adalah karakter-karakter dari objek-objek seni yang tampak ke subjek sebagai pribadi-pribadi dan peristiwa-peristiwa dari pengalaman normal manusia, yang mempengaruhi subjek secara langsung dalam cara yang Bagi Ruth L. Saw, distansi mengatasi sikap terlalu mengambil jarak dan terlalu terlibat para seniman itu sendiri dan mereka yang mengalami dan dijerat oleh keindahan.Sikap-sikap Estetis Apakah pengalaman estetis dan kekaguman pada keindahan memunculkan sikap-sikap estetis tertentu? Ditempatkan dalam konteks sikap ketidakpamrihan disinterestedness dalam pengalaman estetis, apakah subjek yang mengalami pengalaman estetis tertentu terdorong untuk memiliki sikap praktis tertentu? Ada sebuah gerakan di abad ke-19 yang menolak setiap upaya memberikan beban etis pada karya seni. Slogan terkenal lâart pour lâart yang dicetuskan ThĂ©ophile Gautier 1811â1872, yang kemudian mendapatkan aîrmasinya dalam pemikiran-pemikiran Victor Cousin, Benjamin Constant, atau pun Edgar Allan Poe, sebetulnya mau membebaskan karya seni dari komitmen bagi sebuah tindakan Dalam semangat âlâart pour lâartâ art for the sake of art, Edhar Allan Poe menulisâWe have taken it into our heads that to write a poem simply for the poemâs sake [...] and to acknowledge such to have been our design, would be to confess ourselves radically wanting in the true poetic dignity and force â but the simple fact is that would we but permit ourselves to look into our own souls we should immediately there discover that under the sun there neither exists nor can exist any work more thoroughly digniîed, more supremely noble, than this very poem, this poem per se, this poem which is a poem and nothing more, this poem written solely for the poemâs Menerima posisi ini tanpa sikap kritis bukan tanpa konsekuensi serius. Ambillah sebuah contoh îlm klasik berjudul Triumph of the Will karya Leni Riefenstahl yang dibuat pada tahun Sebagai sebuah îlm propaganda proyek penghancuran Nazi atas orang Yahudi, îlm ini ditonton oleh lebih dari tujuh ratus ribu pendukung Nazi ketika diluncurkan. Film ini sendiri â yang juga memunculkan pemimpin Nazi, Adolf Hitler â secara eksplisit mempropagandakan semangat kembali ke Jerman Raya setelah kehancuran akibat Perang Dunia pertama. Apakah 37atas nama semangat lâart pour lâart, kita tidak bisa mengeritik karya-karya seni yang secara eksplisit mengandung propaganda, menyebar kebencian, dan membahayakan kemanusiaan? Menurut Berys Gaut,35 sikap kritis kepada posisi semacam ini diperlukan karena dua alasan. Pertama, harus diakui, ada karya seni yang memiliki nilai estetis yang sangat tinggi, tetapi mengandung nilai-nilai moral yang lemah, atau bahkan bertentangan dengan nilai kemanusiaan secara universal. Film The Triumph of the Will adalah salah satu contohnya. Kedua, kalaupun sikap lâart pour lâart diterima sebagai benar, bahwa karya seni tidak boleh dibebankan nilai-nilai tertentu di luar nilai keseniannya, cara mengalami karya seni dalam konteks nilai tertentu tetap tidak bisa dielakkan. Dalam konteks inilah kita mengerti sepenuhnya pengalaman estetis seorang Henri Nouwen tentang sifat belaskasihan Tuhan dan komitmen moralnya untuk melanjutkan karya sebagai guru spiritual di antara para penyandang cacat. Orang lain tentu dapat mengalami pengalaman estetis berhadapan dengan lukisan âKembalinya si Anak Hilangâ karya Rembrandt dalam cara yang berbeda berdasarkan deposit narasi atau tradisi kehidupan yang dimilikinya. Sama seperti komunitas ilmuwan dewasa ini yang menolak posisi ilmuwan yang mengembangkan riset bukan untuk perbaikan kehidupan manusia, demikian pula halnya dengan penolakan terhadap posisi lâart pour lâart. Bahkan, tidak jarang seniman pun memiliki keberpihakan sosial tertentu dan menggunakan karya seninya untuk mengritik kebobrokan sosial. Lukisan Picasso berjudul Guernica, misalnya, adalah contoh betapa sang seniman sedang memperlihatkan horor dan kemarahan terhadap perang yang ditimbulkan Atau, puisi Wiji Thukul berjudul Tikus yang ditulisnya pada tanggal 6 Januari 1997, yang dengan lantang mengatakanâ...kekuasaan sering jauh lebih ganas/ketimbang harimau hutan yang buas korbannya berjatuhan/seperti tikus-tikus/kadang tak berkubur/tak tercatat seperti tikus/dilindas kendaraan lewat ... .â 37 Posisi kesenian seorang Picasso atau puisi kritik sosial yang dilontarkan Wiji Thukul tidak bisa dipahami tanpa komitmen moral tertentu pada realitas sosial. Semangat keberpihakan semacam ini sulit dipahami para pendukung lâart pour lâart. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa semua karya seni harus Yeremias Jena Dari Pengalaman Estetis ke Sikap Estetis dan Etis 38MELINTAS nilai-nilai moral yang dapat mendorong mereka yang mengalami pengalaman estetis untuk mengambil suatu tindakan moral tertentu. Menurut Berys Gaut, posisi yang benar sehubungan dengan sikap etis bukan terletak pada upaya membebaskan estetika dari tanggung jawab sosial. Juga bukan membebankan karya seni dengan nilai-nilai moral tertentu. Hal terakhir hanya akan mereduksikan karya seni kepada apa yang disebut sebagai moralisme kesenian. Untuk mengatasi kecenderungan ekstrem semacam ini, Berys Gaut menawarkan apa yang disebutnya sebagai âmoralisme moderatâ. Dengan istilah ini, Gaut memaksudkan bahwa sebuah karya hanya bisa disebut karya seni jika memiliki gaung atau kandungan etis yang relevan secara estetis, dan bukan memaksakan nilai-nilai moral pada karya seni. Bagi Gaut, karya seni seharusnya memiliki nilai-nilai etis yang relevan bagi karya seni tersebut karena beberapa alasan. Pertama, karya seni ternyata dapat mengajarkan sesuatu kepada kita, termasuk nilai-nilai moral dan bagaimana kita merasakan suatu kebenaran moral. Kedua, memang tidak semua karya seni harus diberikan beban moral. Sebuah karya seni disebut memiliki nilai moral secara intrinsik jika pengalaman estetis atasnya menyebabkan seseorang mampu memanifestasikan sikap-sikap etis yang dapat Lagi-lagi pemikiran semacam ini membantu kita memahami pengalaman estetis seorang Henri Nouwen sebagaimana dikutip di awal tulisan ini. Jika sikap etis diparalelkan sebagai sikap rohani, maka pilihan hidup Nouwen setelah pertobatanâ harus dibaca sebagai cara mempertanggungjawabkan pilihan hidup dalam kerangka nilai moral dan religius yang semakin mendekati ideal Tuhan sang pengasih dan pengampun. Pengalaman perjumpaan dengan lukisan âKembalinya si Anak Hilangâ karya Rembrandt dihayati Nouwen sebagai sebuah pertobatanâ untuk kembali ke akar dan sumber spiritual Katolik dan ajakan kepada para pembaca untuk mengikuti jalan pertobatan yang sama seperti yang Pertanyaannya, mengapa pengalaman estetis dan rasa keindahan menimbulkan sikap-sikap estetis tertentu? Menurut Diane Apostolos-Cappadona, sikap estetis lahir sebagai pengalaman eksistensial subjek karena karya-karya seni memainkan peran tertentu yang pengalaman mengenainya sering memikatâ dan mendorongâ individu orang yang 39mengalami untuk memiliki atau melibatkan dirinya dalam komitmen-komitmen tertentu. Seni dalam pemahaman Diane Apostolos-Cappadona memiliki fungsi-fungsi simbolis, didaktis, devosional, dekoratif, atau kombinasi dari semuanya Sebuah karya seni dikatakan memiliki fungsi simbolis ketika imaji-imaji dalam karya tersebut melibatkan dan/atau mentransformasi individu pemirsa dalam cara tertentu. Imaji-imaji di katakombe misalnya, jelas memainkan peran ini. Sebuah karya seni memainkan peran didaktis ketika imaji-imaji visual menghubungkan sebuah narasi atau sebuah peristiwa dalam cara yang mendidik, misalnya, lukisan Last Supper-nya Leonardo da Vinci. Sebuah karya seni memainkan peran devosional ketika imaji-imaji karya seni membawa pemirsa ke dalam doa, pengalaman religius atau keterlibatan/komitmen spiritual tertentu. Patung PietĂĄ 1497 karya Michelangelo menjadi contoh yang baik bagi peran karya seni ini. Sementara itu, sebuah karya seni memainkan peran dekoratif ketika imaji-imaji visual menyenangkan bagi sensibilitas estetis para pemirsa tetapi tidak dapat dipahaminya incomprehensible karena karya-karya seni tersebut bersifat abstrak atau berhakikat geometris. Misalnya, lukisan-lukisan kaligraî dari manuskrip-manuskrip Abad Pertengahan. Dapatkah pengalaman estetis dan rasa keindahan membangkitkan sikap-sikap sosial-politik tertentu? Mudji Sutrisno dalam bukunya Kisi-kisi Estetika menjawab pertanyaan ini secara aîrmatif, bahwa pengalaman estetis memang mampu membangkitkan keterlibatan sosial-politik. Peristiwa gempa bumi dan gelombang tsunami yang memporak-porandakan suatu daerah atau bencana-bencana kemanusiaan sering mampu menggerakkan semangat dan menyalahkan api kepedulian banyak seniman untuk mencari dana dan menyumbang demi meringankan derita para korban. Alasannya sederhana, bencana alam adalah musibah yang dapat melumpuhkan inspirasi dan kreativitas seni bagi mereka yang Seni bertolak dari kehidupan dan menjadi abdi kehidupan itu sendiri, sehingga seni akan sulit berkembang ketika kehidupan itu sendiri terganggu. Berbeda dengan sikap-sikap devosional dan spiritual yang ditimbulkan seni, komitmen sosial-politik yang ditimbulkan seni seringkali juga problematis. Sudah sejak Plato kita belajar bagaimana seni harus dikontrol supaya selain senimannya dapat berkreasi sesuai dengan desain para penguasa îlsuf raja, masyarakat umum yang menikmati karya-Yeremias Jena Dari Pengalaman Estetis ke Sikap Estetis dan Etis 40MELINTAS senipun dapat terbantu untuk memimesis secara tepat Keindahan Absolut, karena itulah jaminan bagi keteraturan hidup di polis. Bahwa seniman yang nakalâ, yang menghasilkan karya-karyanya yang berbeda dengan kepentingan penguasa dan mengacaukan pengetahuan masyarakat akan Problematika pengalaman estetis dan sikap estetis barangkali terdapat pada simpul ini. Di satu pihak, pengalaman estetis dan sikap estetis sikap sosial-politik seakan-akan menjadi imperatif bagi individu yang mengalami. Sementara di lain pihak, para penguasa sendiri sering merasa tergangguâ dengan ekspresi sikap estetis semacam itu. Tantangannya adalah apakah para seniman akan berhenti berkarya hanya karena pemasungan kebebasan berkesenian. Kita tahu bahwa kalaupun kreativitas berkesenian dipasung, kebebasan berkreasi dan ekspresi seni para seniman tidak akan pernah Lebih dari itu semua, masalah lain yang juga tidak kalah serius yang kemudian menghancurkan seluruh apresiasi dan kreativitas berkesenian kita adalah ketika kita kehilangan ruang estetika atau Di sinilah terdapat tanggung jawab semua orang untuk membebaskan generasi kita dari krisis kebudayaan semacam Pengalaman estetis tidak semata-mata subjektif. Pengalaman itu tidak melulu terletak pada persepsi subjek atas karya seni. Secara fenomenologis, karya seni adalah objek kesadaran yang menampilkan esensinya kepada subjek. Meskipun demikian, Kant mengingatkan kita untuk menangkap esensi atau keindahan karya seni dalam terang cita rasa seni yang menampakkan diri kepada kesadaran manusia dan yang dipahami dalam putusan-putusan rasional-estetis. Dengan demikian, pengalaman estetis terjadi selalu dalam dua arah. Di satu pihak, objek seni menampakkan diri dalam sebuah pengalaman perjumpaan. Di lain pihak, nalar manusia memaknakan pengalaman estetis itu dalam kerangka narasi atau tradisi pengetahuan tertentu. Pengalaman estetis tidak cukup dihayati sebagai sebuah kontemplasi di dunia ideal Plato. Pengalaman estetis justru seringkali menggugah kehendak, mendorong individu untuk mengambil tindakan moral tertentu. Individu yang mengalami pengalaman estetis justru memaknakan realitas konkret secara baru, bangkit untuk mengubah dunia berdasarkan perspektif keutuhan realitas yang dialaminya dalam pengalaman tersebut. 41Itulah sikap estetis yang ternyata di suatu titik kesadaran tertentu bertemu dan sejalan dengan tuntutan etis menjadikan dunia semakin baik dan Diane. âArtâ dalam The New Dictionary of Theology, Metro Manila Saint Paul Publication, Nancy. Survival of the Prettiest. The Science of Beauty. New York Doubleday, George. Aesthetic Experience. Beauty, Creativity and the Search for the Ideal. Amsterdam Rodopi Berrys. âArt and Ethicsâ dalam Gaut, Berrys & Dominic McIver Lopes Eds., The Roudledge Companion to Aesthetics, 2nd Ed. London Roudledge, Ronald. The Passion of Picasso. .Hegel, Georg Wilhelm Friedrich. Hegelâs Aesthetics. Lectures on Fine Art. Vol. 1 trans. Knox. Oxford Clarendon Press, Christopher. âPlatoâ, dalam Gaut, Berrys & Lopes, Dominic McIver Eds., The Roudledge Companion to Aesthetics, 2nd Ed. London Routledge, Michael Ed.. Encyclopedia of Aesthetics. Vol. 1. New York Oxford University Press, Ed.. Encyclopedia of Aesthetics. Vol. 3. New York Oxford University Press, 1998. Komonchak, Joseph A., Collins, Mary, & Lane, Dermot A. Eds. The New Dictionary of Theology. Collegevile, Minn. Lituergical Press, Ruth L. Aesthetics. An Introduction. London The Macmillan Press Ltd., Franz. 13 Tokoh Etika. Yogyakarta Penerbit Kanisius, Yurri. Concept of Beauty in Classical Greece and Early Christianity, Henri J. M. Kembalinya si Anak Hilang. Yogyakarta Penerbit Kanisius, 1995. Yeremias Jena Dari Pengalaman Estetis ke Sikap Estetis dan Etis 42MELINTAS Antonio. Il Postino. Jakarta Penerbit Akubaca, Michael. Medieval Theories of Aesthetics. Shelley, James. âThe Concept of the Aestheticâ dalam The Stanford Encyclopedia of Philosophy Fall 2013 Edition, Edward N. Zalta ed., Sutrisno, Mudji. Kisi-kisi Estetika. Yogyakarta Penerbit Kanisius, Wahju S. âSeni Sebagai Mimesis. Sebuah Rekonstruksi Pemahaman tentang Seni menurut Platoâ. Majalah Filsafat Driyarkara Tahun XXV, No. 4, 2002, Henri J. M. Nouwen, Kembalinya si Anak Hilang Yogyakarta Penerbit Kanisius, 1995 George Hagman, Aesthetic Experience. Beauty, Creativity and the Search for the Ideal, Amsterdam Rodopi 2005 15-16. 3 Sekali lagi, supaya roh pemikiran Plato mengenai keindahan dipahami secara tepat, maka harus tetap diingat bahwa tetap ada pembedaan dikotomis antara Keindahan Absolut dan keindahan relatif, bahwa karya-karya seni tertentu yang konkret â lukisan, patung ,puisi, prosa, dan sebagainya â bersifat relatif dan hanyalah mimesis dari suatu Keindahan Abadi. Dan bahwa membiarkan diri dijerat oleh pesona karya seni relatif akan menyulitkan kita untuk âbertemuâ dengan dan menikmati pesonanya Keindahan Absolut. Tentang hal ini, Christopher Janawa menulis, âKeindahan itu sendiri âPlato menggambarkannya sebagai Bentuk Keindahan yang abadi, tidak berubah dan ilahi, tidak bisa diakses oleh panca indera, dan hanya menampakkan dirinya kepada intelek. Dalam perspektif Platonis, contoh-contoh objek keindahan dalam dunia nyata menunjukkan adanya keanekaragaman atau relativitas sesuatu bersifat indah pada suatu waktu, dan tidak di lain waktu; indah bagi orang tertentu tetapi tidak bagi orang lain. Sementara Keindahan ideal menurut Plato bersifat tetap, tidak mengandung keanekaragaman. Inilah sebabnya mengapa Keindahan abadi menjadi objek cinta terus-menerus, yang kepadanya segala cinta dan keindahan terbatas mengarahkan diri. Christopher Janawa, âPlatoâ, dalam Berrys Gaut dan Dominic McIver Lopes eds., The Roudledge Companion to Aesthetics, 2nd Ed.. London Roudledge, 2005 Ibid., 2. Dalam Metaphisics Carritt 36 Aristoteles menulis, âThe essential character composing beauty are order, symetri, and deîniteness.â Khusus mengenai keindahan dalam puisi, Aristoteles berpendapat, âIt must not only have these parts ordered, but must have a certain magnitude. For beauty consists in proper order and size. So neither could very smell creatures be beautiful, ⊠not could a very loose one ⊠for here we do not see it all at once, but its unity and wholeness escape our eyesâ Poetics v, Carrit 32.5 Hegelâs Aesthetics. Lectures on Fine Art. Vol. 1. Translated by T. M. Knox Oxford Clarendon Press, 1975 22. Lihat juga Shelley, James, âThe Concept of the Aestheticâ, The Stanford Encyclopedia of Philosophy Fall 2013 Edition, Edward N. Zalta ed., 43 access Misalnya, lukisan Pablo Picasso berjudul Girl Before the Mirror 1932. Lih. Ronald Goetz, âThe Passion of Picassoâ, access Lihat juga karya lainnya berjudul Les Demoiselles dâAvignon 1907. Lih. access Ruth L. Saw, Aesthetics. An Intriduction London The Macmillan Press Ltd, 1972 Ibid., 30. Sebagaimana diketahui, salah îlsuf yang sangat menekankan kontemplasi karya-karya seni adalah Plotinus. Dengan kontemplasi dimaksud sebagai suatu ââbentuk meditasiâ di mana seorang merenung dalam kesadaran pekanya sesuatu yang melampaui dunia indra, yaitu Sang Indah itu sendiri yang kasat mata.â Melalui kontemplasilah para penikmat atau pemirsa seni dapat bertemu dengan Yang Satu sebagai satu-satunya sumber keindahan; Mudji Sutrisno, Kisi-kisi Estetika Yogyakarta Kanisius, 1999 Ruth L. Saw, op. cit., Ibid., Ibid., 41-42. Bdk Diane Apostolos-Cappadona, âArtâ, dalam Joseph A. Komonchak, Eds, The New Dictionary of Theology Collegevile, Minn. Liturgical Press, 1991 Ibid., Ibid., Bagian ini terutama didasarkan pada tulisan David Fenner, âAttitudeâ, dalam Michael Kelly, Ed., Encyclopedia of Aesthetics. Vol. 1 New York Oxford University Press, 1998 George Hagman, op. cit., Ibid., Sebagaimana diketahui, Hobbes antara lain berpendapat bahwa manusia pada hakikatnya bersikap egoistis karena orang lain adalah ancaman. Bahwa yang paling bernilai bagi manusia adalah kenimkmatan. Dan bahwa kewajiban semata-mata merupakan penetapan dari luar, entah itu dari Allah, atau dari negara. Shaftesbury menolak pemikiran-pemikiran semacam ini. Ia berpendapat bahwa manusia pada hakikatnya bersifat sosial. Sejak dilahirkan ia memiliki moral sense, yakni suatu perasaan moral. Manusia bukan bersifat egoistik tetapi sosial. Secara alamiah ia justeru terdorong ke sikap baik terhadap orang lain. Sikap moral yang tepat bagi manusia adalah menjaga keseimbangan antara perhatian kepada diri sendiri dan sikap baik terhadap orang lain. Selain itu, ia juga berpendapat bahwa manusia tidak sekadar mengikuti apa yang ditentukan orang sebagai kewajiban, sama seperti ia tidak serta merta mencari kenikmatan. Karena secara alamiah ia senantiasa mengusahakan kepntingannya sendiri dan kebaikan orang lain, maka ia dengan kesadaran penuh menaati segala kewajiban karena perasaan moralnya. Franz Magnis-Suseno, 13 Tokoh Etika Yogyakarta Kanisius, 1997 Ibid., Untuk uraian mengenai pemikiran Immanuel Kant, lihat terutama George Hagman, op. cit., Bagi Agustinus, hanya Tuhan yang menciptakan dari ketiadaan ex nihilo. Karya-karya seni diciptakan oleh seniman ex materia. Setiap karya seni adalah upaya mimesis, yakni upaya sang seniman mengkontemplasikan realitas ideal rahasia Ilahi dan kemudian menuangkannya dalam bentuk karya seni. Keagungan dan keindahan Yeremias Jena Dari Pengalaman Estetis ke Sikap Estetis dan Etis 44MELINTAS terpancar dalam alam ciptaan-Nya. Melukis dna berkesenian adalah upaya memberi bentuk pada keindahan Ilahi tersebut. Michael Spicher, Medieval Theories of Aesthetics, access 21 Nancy Etcoff, Survival of the Prettiest. The Science of Beauty New York Doubleday, 1999 John R. Sachs, âBeautyâ, dalam Joseph A. Komonchak, op. cit., Ibid., Joseph Margolis, âMedieval Aestheticsâ, dalam Berrys Gaut & Dominic McIver Lopes eds., The Roudledge Companion to Aesthetics, 2nd Ed. London Roudledge, 2005 33-37. 25 Nancy Etcoff, op. cit., Ibid., Ruth L. Saw, op. cit., Ibid., Ibid., Antonio SkĂĄrmeta, Il Postino Jakarta Penerbit Akubaca, 2002 Ruth L. Saw, op. cit., Lihat access Edgar Allan Poe, âThe Poetic Principleâ, E. A. Poe Society of Baltimore, 1850. Arsip asli, lihat access Lihat access Berrys Gault Gaut & Dominic McIver Lopes 2005, 433-434. 36 Ibid, Lihat 38 Berrys Gaut & Dominic McIver Lopes, op. cit., âOne of Nouwensâ major ongoing themes involved his struggle reconciling his depression with his Christian faith. In Return of the Prodigal Son, for example, Nouwen describes love and forgiveness as unconditional. In that book, he invites the reader to follow him in his personal return to the spiritual fountains, and a parallel meditation on all the characters of the parable, and their rendering by Rembrandt, and the painterâs personal lifeâ; access Diane Apostolos-Cappadona, art. cit., Mudji Sutrisno, op. cit., Bdk Wahju S. Wibowo, âSeni Sebagai Mimesis. Sebuah Rekonstruksi Pemahaman tentang Seni menurut Platoâ, dalam Majalah Filsafat Driyarkara Tahun XXV, No. 4, 2002, Mudji Sutrisno, op. cit., Ibid., 65-76. ... ketika manusia menikmati karya seni atau objek estetis seperti ruang interior yang memiliki konsep tertentu maka seseorang tersebut akan merasakan pengalaman estetis ketika menikmati sebuah karya seni. Pada penelitian Yeremias Jena Yeremias, 2014 menjelaskan bahwa pengalaman estetis adalah bagian terpenting dari pengalaman perjumpaaan dengan karya-karya seni. ...Fitriyani ArifinIsu ini berangkat dari mulai bermunculannya ruang interior publik yang menggunakan material bekas sebagai pembentuk ruang yaitu Via-via Cafe, yang merupakan suatu tempat dimana orang-orang bisa melakukan aktivitas apa saja selain makan dan minum. Dengan banyaknya aktivitas yang dilakukan oleh pengunjung CafĂ©, pengunjung mendapatkan pengalaman estetis ketika berada di CafĂ© tersebut. Penelitian ini akan membahas mengenai bagaimana pengalaman estetis pengunjung ketika berada di ruang Via-via CafĂ© Yogyakarta, dengan menggunakan metode kualitatif deskriptif, dan mengamati objek secara langsung. Dari hasil temuan yang didapat, pengalaman estetis tersebut didapat dari persepsi inderawi, emosi perasaan, psikologis, imajinasi, pemahaman pengunjung terhadap konsep ruang CafĂ©, dan juga dari tujuan pengunjung untuk mengunjungi issue departs from the emergence of public interior spaces that use used materials as forming spaces, namely Via-via Cafe, which is a place where people can do any activity other than eating and drinking. With the many activities carried out by CafĂ© visitors, visitors get an aesthetic experience while at the CafĂ©. This study will discuss the aesthetic experience of visitors when in the Via-via CafĂ© Yogyakarta room, using qualitative descriptive methods, and observe objects directly. From the results obtained, the aesthetic experience is derived from sensory perception, emotions feelings, psychological, imagination, understanding of visitors to the concept of CafĂ© space, and also from the visitors' purpose to visit the dalam The New Dictionary of TheologyDiane Apostolos-CappadonaApostolos-Cappadona, Diane. "Art" dalam The New Dictionary of Theology, Metro Manila Saint Paul Publication, GoetzGoetz, Ronald. The Passion of Picasso. New Dictionary of TheologyJoseph A KomonchakMary CollinsLaneKomonchak, Joseph A., Collins, Mary, & Lane, Dermot A. Eds. The New Dictionary of Theology. Collegevile, Minn. Lituergical Press, of Beauty in Classical Greece and Early ChristianityYurri MirzamMirzam, Yurri. Concept of Beauty in Classical Greece and Early Christianity,
Pendekatanuses and gratifications memiliki lima asumsi dasar yaitu (Rakhmat, 2001 : 205) : Khalayak dianggap aktif dan penggunaan media massa diasumsikan memiliki tujuan. Dalam proses komunikasi massa, inisiatif lebih banyak berkaitan dengan pemuasan kebutuhan dan pemilihan media terletak pada anggota khalayak.
D Memberikan pembelajaran sesuai dengan sarana dan prasarana, perkembangan peserta didik, dan situasi serta kondisi di sekolah E. Memberikan pembelajaran sesuai dengan budaya masyarakat Kunci Jawaban : D. 20. Mengajarkan teknik dasar untuk olahraga permainan seperti sepakbola, bolavoli, bolabasket, bulutangkis dan tenis meja adalah: A. Mutlak
1 Sejarah dakwah Laksamana Cheng Ho. Laksamana Cheng Ho datang ke wilayah nusantara pada abad ke 15 dengan membawa armadanya berjumlah sangat besar ketika. Armada Cheng